Kamis, 20 Maret 2014

Tugas Minggu 3 Mat & Ilmu alamiah dasar "Cerita Rakyat"



SAMPURAGA
Orang-orang mengatakan, cerita ini terjadi dahulu kala di Mandailing, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Pada masa itu di satu kampung dalam kawasan yang disebut Padang Bolak, berdiam seorang ibu tua dengan anak tunggalnya yang bernama Sampuraga. Mereka hidup berdua dalam kemiskinan karena ayah Sampuraga sudah lama meninggal dunia. Gubug reot yang mereka tempati adalah epunyaan orang lain. Karena merasa kasihan, pemilik gubug kecil itu mengizinkan Sampuraga dan ibunya menempati gubug itu tanpa sewa.
Tiap hari Sampuraga dan ibunya selalu bangun pagi-pagi sekali. Sesudah sarapan seadanya, mereka segera pergi mencari kayu bakar ke dalam hutan karena mata pencaharian mereka yang utama ialah menjual kayu bakar. Disamping itu, kadang-kadang mereka bekerja di sawah atau lading orang lain sebagai buruh upahan. Orang-orang selalu suka meminta Sampuraga dan ibunya mengejarkan sawah atau lading mereka karena kedunya rajin dan tekun bekerja serta jujur pula. Kalau ada uang berlebih dari upah yang diberikan orang, Sampuraga dan ibunya menabung uang itu.
Pada suatu hari Sampuraga bekerja mencari upah di lading tetangganya. Ketika istirahat makan siang,  pemilik ladang itu bercakap-cakap dengan Sampuraga. Dalam kesempatan itu, si pemilik ladang mengatakan kepada Sampuraga bahwa ia mendapat kabar tentang adanya satu negeri yang subur bernama Mandailing.  Negeri itu tidak begitu jauh letaknya dari Padang Bolak, kawasan tempat tinggal mereka. Menurut si pemilik, ladang itu, penduduk Mandailing hidup makmur karena meraka punya sawah-sawah luas yang subur. Dan mereka mudah pula mendapatkan uang dengan mendulang emas disungai sebab tanah di Mandailing mengandung banyak emas.
Setelah mengdengar cerita itu, Sampuraga memutuskan untuk pergi merantau mencari kekayaan ke Mandailing karena ia memang sudah lama ingin merantau untuk mencari kekayaan agar ia dan ibunya terlepas dari kemiskinan.
Pada saat ia akan berangkat menuju Mandailing, ibunya melepas Sampuraga dengan perasaan yang amat sedih sebab ibunya yang sudah tua itu khawatir mereka tidak akan bertemu lagi. Sampuraga membujuk ibunya dengan janji bahwa dia akan dating menjemput ibunya kalau dia sudah berhasil di perantauan .
Setelah berjalan kaki bebrapa hari lamanya, sampailah Sampuraga di Kerajaan Pidoli yang terletak di Mandailing.Ia terpesona melihat keadaan Sampuraga dengan ramah tamah. Mereka punya rumah-rumah besar beratap ijuk dan indah bangunannya. Candi yang terbuat dari batu bata banyak pula terdapat diKerajaan Pidoli.Segala sesuatu yang dilihat dan dialami Sampuraga setibanya di Kerajaan Pidoli, memberi kesan padanya bahwa penduduk negeri itu hidup makmur.
Baru beberapa hari saja berada di Kerajaan Pidoli, Sampuraga sudah diterima bekerja oleh seorang bangsawan kaya yang sangat maju perdagangannya. Karena Sampuraga rajin bekerja dan jujur, majikannya sangat menyayangi Sampuraga. Terlebih-lebih lagi karena usaha dagang bengsawan kaya itu makin banyak mendapat utung setelah Sampuraga bekerja dengannya.
Beberapa kali majikannya menguji kejujuran Sampuraga. Karena terbukti ia memang seseorang pemuda yang jujur dan rajin, akhirnya bangsawan kaya itu memberikan modal kepada Sampuraga. Dengan modal itu Sampuraga membuka usaha dagang sendiri. Dan ternyata dalam waktu singkat, usaha dagang  Sampuraga maju sangat pesat. Ia mulai terkenal sebagai pemuda keya di Kerajaan Pidoli. Namanya mulai sering disebut-sebut orang dengan rasa kagum sebab kekayaannya terus saja bertambah.
Melihat keadaan Sampuraga yang terus bertambah kaya, ada orang yang meramalkan bahwa akhirnya nanti Sampuraga akan kawin dengan gadis cantik putri bekas majikannya. Dan ramalan orang itu akhirnya menjadi kenyataan. Bangsawan kaya bekas majikannya mengizinkan Sampuraga kawin dengan putrinya yang terkenal cantik di Kerajaan Pidoli. Perkawinan mereka akan diselanggarakan secara besar-besaran menurut adat Mandailing. Hal itu cepat terbakar ke mana-mana. Terutama kerena gadis yang akan dikawini Sampuraga itu sangat terkenal kecantikannya,  dan ayahnya termasyhur sebagai salah seorang bangsawan terkaya di Kerajaan Pidoli.
Satu bulan menjelang penyelenggaraan upacar perkawinan Sampuraga, orang sibuk mempersiapkan segala keperluannya karena upacara perkawinan itu akan berlangsung beberapa hari lamanya. Puluhan ekor kerbau dan kambing sudah disediakan untuk disembelih dalam upacara perkawinan itu. Orang-orang juga sudah mempersiapkan Gordang Sambilan dan Gondang Boru yang terbaik,  yaitu dua macam alat musik Mandailing yang akan dipergunakan untuk mer ke mana-amiahkan upacara itu nanti.
Makin dekat waktu upacara perkawinan itu diselang gerakan, makin banyak dan bertambah seringlah tersiar kabar ke mana-mana mengenai kehebatan upacara yang akan diselenggarakan untuk perkawinan Sampuraga. Entah siapa yang membawanya, kabar itu sampai pula ke Padang Bolak, negeri asal Sampuraga. Ketika terdengar oleh ibu Sampuraga yang tidak pernah menerima berita dari anaknya, perempuan tua itu sangat terkejut. Hatinya merasa tak percaya bahwa anaknya, Sampuraga, yang miskin akan kawin dengan putri bangsawan kaya di Mandailing.
Ketika samapai di Kerajaan Pidoli, tampaklah oleh ibu Sampuraga orang-orang sangat ramai berkumpul disatu tempat. Pada saat yang samadari tempat itu terdengar suara Gordang Sambilan bertalu-talu. Dengan terseok-seok karena sudah sangat lelah berjalan, ibu Sampuraga yang sudah tua tergegas menuju orang ramaiitu. Setelah dekat, perempuan tua itu sangat terkejut melihat sepasang pengantin berpakaian adat sedang duduk bersanding di pelaminan. Darahnya tersirap.Ia hapus matanya yang sudah agak kabur beberapa kali, untuk menyakinkan dirinya bahwa ia tidak salah liat. Setelah ia yakin betul bahwa pengantin laki-laki yang duduk di pelaminan itu memang anaknya Sampuraga, tanpa sadar ia menjerit memanggil nama Sampuraga. Orang-orang jadi terkejut. Demikian juga Sampuraga dan istrinya yang sedang bersanding dipelaminan. Sambil terus meneriakkan nama Sampuraga, perempuan itu berlari mendapatkan anaknya yang sangat ia rindukan itu. Setelah dekat,  dengan terharu ibu Sampuraga berkata, “Anakku … anaknya Sampuraga, … oh, anakku.” Ia mengulurkan kedua tangannya dengan gemetar hendak memeluk Sampuraga. Tetapi dengan penuh amarah tiba-tiba Sampuraga menghardik  ibunya,  “Perempuan tua celaka.Kau bukan ibuku. Aku tak kenal siapa kau. Pergi kau dari sini! Jangan ganggu kami!”Kata-kata itu terasa oleh ibu Sampuraga bagaikan petir menyambar telinganya. Tapi ia tenangkan hatinya. Sambil memandang wajah Sampuraga, perlahan ia berkata, “Jangan kau berkata begitu, anakku. Aku ini ibumu. ”Dengan kasar Sampuraga menjawab, “Tidak! Tidak! Kau bukan ibukku.Ibuku sudah lama mati. ”Karena sudah kaya dan terkenal, rupanya Sampuraga malu mengakui bahwa perempuan tua yang kere itu adalah ibunya.
Dengan air mata meleleh, ibu Sampuraga berkata lagi, “Karena aku sudah tua, jelek, dan miskin, kau malu mengajui bahwa aku ibumu, Sampuraga.” Sambil mengeluarkan dan memijit buah dadanya yang sudah keriput, ibu Sampuraga meneruskan kata-katanya, “Tapi ketahuilah, air susuku inilah yang membesarkan kau.” Pada saat kata-kata itu diucapkan ibu Sampuraga, tiba-tiba air  susu memancar dari buah dadanya yang sudah keriput itu. Seketika itu juga, kilat pun menyambar, guruh memecahkan disertai topan dan hujan yang sangat lebat. Dan ibu Sampuraga tiba-tiba raib dari pandangan. Karena sangat panik dan kerakutan, orang-orang berlarian ke sana kemari sambil menjerit-jerit. Dalam sejenak saja mereka semua tenggelam dan hilang hilang air bah.
Beberapa hari kemudian, tempat kejadian itu sudah berubah menjadi sebuah kolam air yang sangat panas. Di sekitarnya terdapat beberapa batu kapur ukuran besar yang bentuknya menyerupai kerbau. Selain itu terdapat pula unggukan tanah, pasir, dan lumpur yang warna dan bentuknya menyerupai bahan makanan. Orang-orang mengetakan bahwa itu semua merupakan penjelmaan dari sisa-sisa upacara perkawinan Sampuraga yang mendapat kutukan.


Kesimpulan :
Cerita ini merupakan legenda kerena orang-orang Mandailing menganggap cerita Sampuraga ini memang benar terjadi pada zaman dahulu kali. Anggapan itu diperkuat oleh kenyataan yang ada di sekitar kolam air panas yang hingga kini dinamakan Sampuraga. Kenyataan itu berupa unggukan batu-batu kapur yang bentuknya menyerupai kerbau dan unggukan tanah, pasir, dan lumpur yang warna dan bentuknya menyerupai bahan makanan yang biasa disediakan untuk upacara perkawinan.
Orang-orang sering pergi rekreasi ke kolam air panas Sampuraga yang hingga kini masih terdapat tak jauh dari desa Pidoli, yang disekitarnya terdapat banyak runtuhan candi. Kalau di dekat kolam air panas itu orang meneriakkan kata-kata, “O, Sampuraga na maila marina” (Artinya: O, Sampuraga yang malu mengakui ibunya), air panas dalam kolam itu akan segera melonjak-lonjak. Kata orang, pada masa dahulu, lonjakan air panas itu kadang-kadang samapi setinggi pohong kelapa.
Legenda Sampuraga ini bagus karena isinya memperingatkan kita bahwa sikap durhaka kepada orang tua (ibu dan bapa) merupakan sesuatu yang sangat tidak baik. Dan barang siapa durhaka kepada orang tuanya akan mendapat hukuman, seperti dialami oleh Sampuraga dalam cerita ini.




Sumber :
Lubis, Pengaduan, Z. 1992 "Cerita Rakyat Dari Sumatra Utara". Jakarta : PT Grasindo.

0 komentar:

Posting Komentar