Penemu Senyawa Antikanker Pada Kulit Kayu
Damar Batu
Tidaklah segala sesuatu yang Allah
ciptakan itu sia-sia, termasuk tumbuhan. Tugas manusialah yang mencari ‘harta
karun tersembunyi’ itu.
Ribuan jenis tanaman yang hidup di
Tanah Air memiliki fungsi sebagai obat, bahan kosmetik, dan bahan bakar
alternatif. Hanya saja, potensi yang sedemikian besar belum banyak diteliti dan
digunakan sebagai solusi atas masalah kesehatan.
Valentina Adimurti Kusumaningtyas, dosen kimia di Universitas Jenderal
Achmad Yani (Unjani) Bandung itu berhasil menemukan senyawa antikanker pada
kulit batang pohon damar batu. Jika dikembangkan lebih lanjut melalui teknik
ekstraksi senyawa, itu bisa menjadi obat herbal masa depan untuk penyembuhan
kanker kulit.
“Obat herbal antikanker lebih aman
daripada obat sintetis. Karena kandungan zat dari tumbuhan tidak
mempunyai efek samping bagi organ tubuh,” ujar Valen saat ditemui di ruang
kerjanya.
Belum banyak orang yang tahu
tentang khasiat obat herbal, khususnya senyawa pada kulit batang pohon damar.
Penderita kanker kulit lebih banyak tergantung obat sintetis yang berbahan baku
zat kimia.
Hal itu semata-mata karena pemerintah
dan paramedis kurang mempromosikan obat herbal. “Sebenarnya, banyak juga
senyawa tanaman lain yang memiliki kemampuan menyembuhkan kanker seperti kunyit
dan sambiloto. Tapi paling tidak hasil penelitian saya bisa memberikan
alternatif pilihan bagi masyarakat yang ingin sembuh dari penyakitnya,”
ujarnya merendah.
Penemuan ini telah dirintis Valen sejak 2006. Waktu
itu, ia dibantu dua rekannya, yakni Dewi Meliati (dosen Unjani) dan Yana
Maulana Syah (dosen Institut Teknologi Bandung [ITB]) , berusaha mencari tema
penelitian yang layak diajukan ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan Nasional untuk mendapatkan pendanaan.
“Kebetulan ITB mempunyai
data base tentang berbagai khasiat tanaman golongan tanaman keras
Dipterocarpaceae. Akhirnya kami memutuskan untuk meneliti kulit batang
damar batu karena belum pernah digarap oleh ilmuwan lain. Berdasarkan
literatur, kulit batang pohon ini mempunyai prospek cukup baik untuk
menghasilkan senyawa anti-kanker,” ungkap Valen.
Proposal itu disetujui Dikti. Valen
dan timnya mendapat hibah dana penelitian sebesar Rp50 juta plus waktu dua
tahun guna membuktikan kebenaran hipotesis. Penelitian itu diakui Valen
tergolong mulus. Proses yang paling lama ialah pada ketersediaan sampel. Kulit
batang harus didatangkan dari Kebun Raya Bogor sehingga ketika sampel habis,
proses penelitian terpaksa ditunda sementara.
“Sebenarnya pohon damar jati
hidup di mana-mana. Namun sampel penelitian kan harus konsisten supaya akurasi
data terjaga,”
ucapnya.
Pertengahan 2008, Valen dan
kawan-kawan mempresentasikan temuan mereka ke Ditjen Dikti di Jakarta. Dari
penilaian tim juri, penelitian mereka dinyatakan logis. Bukti yang
dipaparkan Valen, dua dari tiga senyawa oligomer yang terkandung
dalam kulit batang damar batu bersifat antikanker terhadap sel
kanker murine leukemia P-388, meskipun masih perlu uji coba lanjutan
mulai dari hewan kecil sampai manusia.
Supaya dapat diproduksi sebagai obat,
Valen harus menguji coba senyawa anti-kanker ke kera dengan metode
yang sama. Jika terbukti efektif, diuji coba dulu ke beberapa (relawan)
manusia.
Adapun Valen baru menyelesaikan
uji sitotoksik pada benur udang dan mencit atau tikus putih. Sel
kanker kulit yang ditanamkan di tubuh kedua hewan itu ternyata tidak
tumbuh setelah diberi senyawa antikanker buatan Valen.
“Ada keinginan untuk
menyelesaikan semua uji coba. Tapi, kami terkendala dana karena
biaya perizinan dan pembelian sampel sangat besar,” kata Valen yang berharap adanya
donatur untuk membiayai proses uji coba.
Valen juga sedang menunggu sertifikat
paten dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia atas metode penelitian dan senyawa antikanker pada
kulit batang damar batu yang ia daftarkan sejak akhir 2008.
Ketertarikan Valen kepada dunia
kesehatan sebenarnya baru tumbuh ketika kuliah S-1 di Jurusan Kimia
Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Ia masuk tahun 1985. Ketika mengikuti
praktikum di Cirebon, dia mendapati sejumlah masyarakat yang meminum air
rebusan rumput untuk obat sakit gula.
Ternyata, sari pati rumput
tersebut berfungsi sebagai antibiotik yang menurunkan kadar gula dalam
darah. “Saya lalu berpikir, obat berbagai jenis penyakit pasti sudah
tersedia di alam. Sebab, ayat dalam Al-Qur’an pun menyebutkan bahwa
segala sesuatu yang Ia ciptakan tidaklah sia-sia,” ucapnya.
Dari situ, perempuan yang hobi
memasak ini ingin terus meneliti tanaman yang menyembuhkan penyakit. Berbekal
ilmu kimia organik bahan alam selama kuliah S-1 di Unpad dan S-2 di ITB, ia
berharap bisa berkontribusi bagi banyak orang. “Karena saya lulusan
kimia, studi saya cuma sebatas mencari kandungan gizi dalam tumbuhan dan
kandungan senyawa antipenyakit dalam tanaman. Kalau mau dijadikan
obat herbal, harus bekerja sama dengan ilmuwan bidang kedokteran atau farmasi.”
Menurut dia, ilmu kimia organik tidak
akan pernah mati. Selalu berkembang dan terus mencari penemuan baru yang
berguna bagi aspek kehidupan manusia. Apalagi di negara tropis seperti
Indonesia. Keaneka- ragaman hayatinya memiliki banyak potensi yang belum
tergali. Dari satu tanaman saja, semua bagiannya mulai dari batang, akar,
daun, sampai daun bisa menghasilkan senyawa antipenyakit.
Valen lantas mengilustrasikan
kesuksesan ilmu pengobatan dari bahan organik di China yang berkembang
sejak puluhan abad silam.
“Di China, hampir tidak ada
penyakit yang tidak mampu disembuhkan oleh obat dari tumbuhan,” tukas perempuan yang dipercaya
menjabat sebagai Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas MIPA Unjani itu.
Obat herbal, lanjut dia,
memiliki tingkat risiko lebih rendah daripada obat sintetis. Karena obat
sintetis dapat berubah menjadi racun sehingga menurunkan kekebalan tubuh
seseorang. Sedangkan senyawa obat herbal yang bersifat alami mudah
dinetralisasi oleh tubuh.
“Pengusaha industri obat di luar
negeri terus-menerus mengembangkan obat-obatan berbahan baku tumbuhan. Mereka
mengandalkan pasokan senyawa alami dari kita. Masa kita jauh tertinggal
dari orang asing,”
kata Valen yang kini tengah meneliti senyawa antikanker payudara.
Baginya, tidak ada kamus
terlambat untuk menciptakan perubahan. Asalkan pemerintah mau konsisten menjaga
keanekaragaman hayati dengan cara menghapus praktik penebangan liar.
Sementara industri kesehatan nasional
juga semakin mengakomodasi keberadaan obat herbal sebagai solusi mengatasi
penyakit.
“Saya kira ilmuwan akan senang hati
berkarya demi kemajuan bangsa. Bahkan semakin semangat mencari ide-ide baru
karena hasil kerja keras mereka diminati masyarakat,” tegasnya.
Biasanya, batang pohon damar batu
yang banyak tumbuh di pedalaman Sumatra itu kerap dimanfaatkan masyarakat
setempat untuk bahan bangunan. Getahnya bisa dicampur kerosin untuk
membuat rangka kapal boat, dapat pula dipakai sebagai salah satu
bahan baku cat dan vernis. Adapun larutan damar dalam cairan kloroform dapat
dipakai untuk mengawetkan binatang dan tumbuhan guna kepentingan riset.
Pohon bernama latin Hopea odorata itu
memang menyimpan banyak manfaat. Di tangan Valentina, manfaat damar batu
bertambah lagi. Hasil risetnya membuktikan kulit batang pohon ini menghasilkan
senyawa aktif yang berguna untuk obat antikanker kulit.
Meski proses penelitian itu memakan
waktu lama, menurut Valen, pembentukan senyawa aktif antikanker pada kulit
batang damar batu tergolong mudah. Dia menjelaskan, pertama-tama kulit batang
dijemur di bawah terik sinar matahari selama dua sampai tiga hari untuk
menghilangkan kandungan airnya. Kemudian digiling sampai menjadi serbuk.
Seluruh serbuk direndam
menggunakan cairan metanol selama satu hari untuk mendapatkan senyawa
murni atau biasa disebut proses ekstraksi. Namun jika untuk konsumsi manusia,
perendaman harus menggunakan cairan etanol.
Berdasarkan uji sampel,
didapati hasil bahwa dua dari tiga senyawa oligomer yang terkandung
dalam kulit batang damar batu bersifat antikanker terhadap sel kanker
murine leukemia P-388. Namun dari 5 kg kulit batang damar batu, hanya 0,5
mg saja yang bisa dimanfaatkan.
Senyawa aktif tersebut berkhasiat
membunuh sel kanker kulit yang menyerang makhluk hidup. Meski begitu, temuan
ini masih perlu uji sitotoksik mulai dari hewan kecil hingga relawan manusia
sebelum dinyatakan layak beredar di masyarakat sebagai obat.
“Kami sudah berhasil menguji coba ke
benur udang dan tikus putih. Tinggal uji coba ke kera dan manusia. Tapi belum
bisa dilakukan karena keterbatasan dana,” terang Valen.
Dengan cara konvensional,
Valen mempersilakan masyarakat, khususnya penderita kanker payudara, yang
hendak membuktikan sendiri khasiat batang kulit damar
batu. Cukup dengan merebus kulit batangnya. Jika
memungkinkan, bisa berbentuk serbuk. Lalu sari pati air rebusan langsung
diminum sebagai obat pencegah perkembangan sel kanker kulit. Jika dilakukan
secara rutin, Valen yakin kanker kulit seseorang berangsur-angsur hilang.